Pada zamannya, John Locke adalah politisi yang kuat dan pengarang disertasi poliik aliran liberal yang berjudul Two Treatises of Government. Bersama Earl Shaftesbury, dia mengungsi ke Belanda dan baru kembali ke Inggir setelah revolusi kejayaan pada tahun 1688. Walaupun demikian dikenal bukan sebagai ahli ilmu politik, tetapi karena filsafatnya terhadap ilmu pengetahuan dalam bukunya yang berjudul Essay Concerning Human Understending. Proses penulisannya yang membutuhkan waktu duapuluh tahun tercatat mampu mempengaruhi pemikiran barat sampai 100 tahun kemudian dan mendudukkannya sebagai filsuf Inggris terbesar sepanjang sejarah. Karaya filusuf Barkley, Kant dan Hume adalah kelanjutan langsung dari bukunya tersebut.
Seperti judulnya, karyanya yang berjudul an Essay Concerning Human Understending itu membahas sifat pemahaman manusia, yaitu proses berjalannya pikiran manusia untuk mengumpulkan data yang masuk melalui indera, menyusun data, mengklasifikasikan data, dan akhirnya menggunakannya untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi datah teroleh. Ia juga sangat dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan saat itu. John Locke merupakan teman diskusi dari ilmuan besar, seperti Robert Boyle dan Isac Newton. Dia benar-benar bekerja keras untuk meletakkan fondasi ilmiah bagi subjek pengetahuan manusia. Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan manusia selalu mengalami pengalaman hidupnya dengan indera sebagai pintunya. Hal inilah yang disebit aliran empirisme yang didukuang oleh filusuf seperti Quine dan ilmuan modern lain. Penentang aliran ini adalah aliran rasionalisme yang tokohnya antara lain seperti Noam Chomsky dengan filsafatnya tentang pengetahuan dan turunan tata bahasa.
Locke mengatakan bahwa fikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong yang disebut tabula rasa yang akan menerima tulisan pengalaman selama perjalan hidupnya melalui pengalamannya. Semua pengetahuan manusia didapat dari pengalaman yang dialaminya. Ide dalam pikirannya itu mempunyai dua tingkatan yaitu tingkatan yang sederhana dan tingkatan yang kompleks. Tingkatan yang sederhana adalah pengetahuan yang langsung didapatkan melalui indera, seperti warna kuning, rasa pahit, bau harum, suara nyaring, terasa halus dan lain sebagainya. Sedangkan pengetahuan yang kompleks adalah hasil gabungan dari dua atau lebih pengetahuan sederhanan yang diolah oleh pikiran. Misalnya pengetahuan konsep meja, binatang, bintang, dan lain sebagainya. Pengetahuan yang komples juga tidak harus sesuatu yang ris, misalnya kosep pengetahuan unicorn yang merupakan gabungan konsep kuda dan konsep tanduk, dan konsep angka satu.
Dia juga mengategorikan kualitas objek sebagai koalitas primer dan sekunder. Kulitas sekunder merupakan sifat yang mendasar dan dapat melekat pada semua objek, seperti padt, panjang, gerak, diam, dan lain sebagainya. Kualitas sekunder merupakan hasil yang didapat dengan indera seperti warna, bau atau rasa. Disebut sekunder karena kualitas itu tidak melekat pada benda, tetapi muncul pada persepsi pikiran saat indera kita berinteraksi dengan suatu benda. Cara lain untuk mengategorikan kualiras primer dan kualitas sekunder adalah dengan menyebut kualitas objektif pada kategori kualitas primer dan kualitas subjektif pada kategori kualitas sekunder. Kualitas objektif adalah kualitas yang melekat pada suatu objek, sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas hasil persepsi pikiran kita.
Ada persoalan yang rumit saat menggunakan konsep pengetahuannya untuk menjawab pertanyaan “Apakah pohon yang runtuh ditengah hutan tanpa ada orang yang dapat mendengarkan suaranya akan menimbulkan suara?” Sebagai konsekwensinya, teori Locke akan menjelaskan bahwa runtuhnya pohon tidak menimbulkan suara, hanya menimbulkan getaran di udara dan benda-benda di sekitarnya. Hal ini karena suara merupakan kualitas subjektif dan benda-benda yang bergerak merupakan kualiras objektif. Tanpa ada sensor indera, kualitas subjektif tidak akan ada. Pandangan ini disebut esensialisme ilmiah, yaitu pandangan yang mengarah pada kesimpulan yang secara luas dipahami oleh para pemikir era modern bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak aka nada.
John Locke meletakkan pondasi pengetahuan dan pemahaman manusia dengan penggambaran bahwa pikiran manusia yang baru lahir seperti kertas kosong yang belum ada tulisannya dan akan ditulisi sepanjang perjalanan hidupnya oleh pengalaman. Para pilusuf mengistilahkan kondisi kertas kosong sebagai tabula rasa, walaupun Locke sendiri tidak pernah menggunakan istilah tersebut didalam bukunya. Locke menentang pendapat-pendapat yang mengemukakan bahwa manusia memiliki pengetahuan dasar yang dibawa sejak lahir, seperti pemikiran yang diajukan oleh Rene Deskartes dan filusuf rasional lainnya. Argument tersebut mengemukakan bahwa prinsip pengetahuan dasar bawaan lahir harus bersandar pada ide adanya sesustu yang dibawah pada saat lahir. Menurut Locke hal seperti itu tidak ada. Contohnya kita tidak mempercayai konsep tentang tuhan dan keberadaan-Nya. Pemahaman tentang Tuhan dan kepercayaan pada-Nya diketahui melalui pengalaman atau pembelajaran, dan tak diketahui atau tak dibawa sejak lahir. Pembelajaran yang dialami oleh manusia didapatkan dari prosas penginderaan dan pengolahan pikiran (sensation and reflection).
Tabula rasa berasal dari bahasa Latin yang dalam bahasa Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi blank slate dalam bahasa Indonesia artinya kertas kosong dan sering juga diartikan sebagai kertas putih bukan jenis warna tetapi kosong. Ide tabula rara sebelumnya sudah ada pada karya Aristoteles De Anima atau Tentang Jiwa. Pada Abad ke-11, seoran pilusuf Persia Ibnu Sina atau dalam dunia barat dikenal sebagai Avecena membangun teori tentang tabula rasa ini dengan lebih jelas. Ibnu Sina menjelaskan bahwa intelektual manusia ketika baru lahir seperti tabula rasa, sebuah kondisi potensial yang murni menanti aktualisasi melalui pendidikan dan pengalaman yang akan dialami sepanjang hidupnya. Aktualisasi intelektuai itulah sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengenalan pembiasaan empiris dan objek didunia ini, yang kemudian diolan menjadi konsep melalui metode silogistik pemikiran. Tahapan ini juga dijelaskan oleh Ibnu Sina dengan konsep pengembangan diri intelektual potensial menjadi intelektual aktif.
Pada abad ke-12 seoran pilusuf arab yang bernama Ibnu Tufail atau diduni Barat dikenal dengan nama Ibn Tophail mendemonstrasikan teori tabularasa percobaan pikiran. Pemikiran yang dituangkan dalam bentuk novel yang berjudul Hayy ibn Yaqzan yang menceritakan seorang anak yang lahir ditengah padang pasir dan tumbuh belajar di lingkungan yang jauh dari masyarakat beradab. Versi latin nove Ibnu Tufail ini diterjemahkan dalam bahasa latin dengan judul Philosopus Autodidaktus yang terbit pada tahun 1671 oleh Edward Pocoke. Novel versi latin inilah yang dibaca oleh John Locke dan menghasilkan filsafat tentang tabula rasa yang dituangkan pada karya An Essay Concerning Human Understending.
No comments:
Post a Comment